M A K A L A H
KONFLIK KEPENTINGAN DAN BUDAYA POPULER
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Etika
Berkomunikasi
Dosen : Komarudin,
Drs., M.Pd.
Oleh
:
HARDIANTO PRAMEDIKA
111050041
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG
DJATI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan
kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Konflik Kepentingan dan Budaya Populer “.
Penulisan makalah adalah
merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Etika Berkomunikasi.
Dalam Penulisan makalah ini
penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak
yang membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, khususnya kepada :
- Bapak Komarudin Drs., M.Pd. dosen mata kuliah Etika Berkomunikasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Swadaya Gunung Djati,yang telah memberikan dan menyampaikan materi-materinya kepada penulis hingga tersusunnya makalah ini.
- Kedua orang tua penulis yang telah memberiakan dukungan moral maupun materi kepada penulis hingga penulisan makalah ini tersusun
- Rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada penulis
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini baik langsung maupun tidak langsung hingga penyusunan makalah ini tersusun.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Cirebon, 14 April 2012
Hardianto
Pramedika
DAFTAR ISI
- KATA PENGANTAR ............................................................... i
- DAFTAR ISI ............................................................................. ii
- BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang masalah ........................................................ 1
1.2.masalah.................................................................................. 2
1.3.tujuan masalah ...................................................................... 2
- BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Konflik............................................................. 3
2.2.
Jenis-jenis Konflik.............................................................. 4
2.3.
Pengertian konflik kepentingan ......................................... 6
2.4. Sumber Konflik Kepentingan............................................ 8
2.5. Pendekatan terhadap
Konflik Kepentingan....................... 10
2.6. Definisi Budaya Populer .................................................... 11
- BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN .................................................................. 13
3.2. SARAN-SARAN ............................................................... 13
6. DAFTAR PUSTAKA .................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia adalah individu yang unik.
Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu
dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu
konflik.
Ulasan mengenai seluk beluk
budaya populer pada setiap zaman demikian luas cakupannya, sehingga tak
memungkinkan kita untuk membahasnya satu persatu dalam karangan sederhana ini.
Meskipun ada keterbatasan tertentu, namun setidaknya kita sudah mengupas apa
yang menjadi inti permasalahan pada budaya zaman, yaitu kebiasaan dan gaya
hidup yang cenderung disebarkan secara meluas dalam kemasan trend
"populer" agar mudah diterima oleh khalayak massa, sekalipun di
dalamnya terkandung esensi dan tendensi dosa. Kondisi seperti ini memang tak
bila dipungkiri lagi karena baik para pelaku, agen pembuat maupun penikmat
budaya itu sendiri adalah insan manusia yang berdosa. Jelaslah bahwa
nilai-nilai universal dalam setiap aspek budaya dalam kehidupan manusia tidak
pernah luput dan bebas dari kecemaran dosa. Namun hal ini tak berarti bahwa
kita sebagai makhluk berbudaya tak bisa mengantisipasi, menanggulangi, dan
sekaligus memperbaiki dampak-dampak budaya. Apalagi, segenap orang telah diberi
kepercayaan oleh Allah untuk berfungsi sebagai terang dan garam dunia. Kita
pasti bisa membaharui budaya zaman berdasarkan kehendak, semangat dan kuasa
pembaruan yang dinamis.
Dalam beberapa uraian di atas
penulis sedikit banyaknya akan membahas mengenai beberapa contoh konflik
kepentingan yang terjadi di kalangan individu maupun kelompok yang sering kita
liat bahkan kita alami.
Selain membahas mengenai
konflik yang terjadi penulis juga akan membahas mengenai definisi budaya
populer yang terjadi di kalangan anak-anak maupun di kalangan dewasa yang sangat
berpengaruh terhapap perubahan seseorang.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam
pembuatan makalah ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari konflik itu sendiri ?
2.
apa saja jenis-jenis konflik ?
3.
Apa pengertian dari konflik kepentingan itu sendiri
?
4.
Apa saja yang menjadi sumber konflik kepentingan ?
5.
Bagai manakahpendekatan terhadap konflik kepentingan
?
6.
Apa yang dimaksud dengan budaya populer ?
1.3. Tujuan
Masalah
Ada pun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Apa pengertian dari konflik itu
sendiri.
2.
Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis konflik.
3.
Untuk mengetahui Apa pengertian dari konflik
kepentingan itu sendiri.
4.
Untuk mengetahui Apa saja yang menjadi sumber
konflik kepentingan.
5.
Untuk mengetahui Bagai manakahpendekatan terhadap
konflik kepentingan.
6.
Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan budaya
populer.
BAB II
PEMBAHASAN
KONFLIK
KEPENTINGAN DAN BUDAYA POPULAR
A. Konflik Kepentingan
Novel Ali [dalam harian Suara Merdeka, 7 Januari
2007] mengatakan bahwa komunikasi itu kepentingan. Tiap orang yang
berkomunikasi, punya kepentingan. Karena komunikasi identik dengan kepentingan,
atau karena setiap sistem dan proses komunikasi mengisyaratkan kepentingan,
maka (di balik) komunikasi cenderung selalu terbuka konflik kepentingan.
Tidak sedikit pakar yang berkeyakinan terdapatnya
''ideologi'' sebagai landasan komunikasi. ''Ideologi'' komunikasi punya
bermacam performance, baik kemudian yang disebut kebenaran, kejujuran,
keadilan, keaslian, obyektivitas, faktual, dan aktual, maupun yang dikenal
sebagai kebohongan, kemunafikan, ketidakadilan, kepalsuan, subyektivitas, serta
fakta semu.
Performance ''ideologi'' komunikasi diuraikan terdahulu, mendorong
pakar komunikasi memiliki sikap yang mendua dalam mengkaji proses komunikasi.
Artinya, jika terjadi konflik kepentingan sebagai akibat berlangsungnya proses
komunikasi tertentu, pakar komunikasi umumnya akan memandang fenomena itu
sebagai sesuatu yang biasa terjadi.
Khususnya di tengah plus-minus setiap simbol atau
di tengah ''perang'' simbolik dalam kemasan obyektivitas pihak tertentu,
berhadapan dengan kemasan subyektivitas pihak lain.
Sekalipun demikian, pakar komunikasi biasanya akan
memberi rambu pemahaman atas konflik kepentingan dalam setiap proses komunikasi
1. Pengertian Konflik
Robbins
(1996) dalam "Organization Behavior" menjelaskan bahwa konflik adalah
suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua
pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik
pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Sedang
menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada
keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah
yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Perbedaan
pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik
bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti
konflik. Persaingan sangat erat hubungannya
denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama
tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan
konflik namun mudah menjurus ke aarah konflik, terutuma bila ada persaingan
yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati.
Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak
memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja
tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik
sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif
akibatnya. Berbagai konflik yang ringan
dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi
mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
2. Jenis-jenis Konflik
Menurut James
A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok,
konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik
intrapersonal adalah konflikseseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi
bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai
berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan
peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang
mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang
bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan.
4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun
negatif yang menghalangi tujuan-tujuan yang diinginkan.
Hal-hal di
atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali
menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan.
Ada tiga macam bentuk konflik
intrapersonal yaitu :
1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya
orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
2. Konflik pendekatan - penghindaran,
contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran,
contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan
negatif sekaligus.
b. Konflik Interpersonal
Konflik
Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena
pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua
orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.
Konflik
interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari
beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut.
c. Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok
Hal ini
seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk
mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh
kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas
kelompok dimana ia berada.
d. Konflik antara kelompok dalam
organisasi yang sama
Konflik ini
merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi.
Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja - manajemen merupakan dua
macam bidang konflik antar kelompok.
e. Konflik antara organisasi
Contoh
seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain
dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan
persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan
timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru,
harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
2. Konflik Kepentingan
Menurut
Wikipedia, konflik kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada
posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan.
Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk
menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal
tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis
atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan
terhadap seseorang atau suatu profesi.
Konflik
kepentingan menyebabkan benturan antara loyalitas profesional dan kepentingan
lain yang akan mengurangi kredibilitas agen moral. Koflik biasanya muncul dari
peran yang kita mainkan dalam suatu kelompok sosial. Konflik muncul sebagai
tarikan antara keberpihakan pada nilai partikular dan kewajiban secara umum.
Tidak seperti nilai kebenaran, pada konflik kepentingan tidak ada satu
peraturan pun yang melarang hal-hal yang potensial memunculkan konflik
kepentingan. Konsultan komunikasi, sebagai contoh, secara legal tidak dilarang
untuk menangani klien dua pihak yang bertarung di pemilihan kepala daerah dalam
waktu yang bersamaan. Namun secara etis, hal demikian akan memunculkan konflik
kepentingan.
Maka dapat
dikatakan bahwa membagi kesetiaan bukanlah bagian dari pembentukan nilai moral
dasar. Para orang tua misalnya, melarang kita untuk berbohong atau mencuri.
Namun mereka tidak pernah mengajarkan kepada kita soal konflik kepentingan.
Padahal pada kenyataannya, konflik kepentingan akan mendorong kita untuk
berbuat tidak jujur dan tidak adil. Seorang menteri yang menangani kasus
kenaikan harga kedelai tentu akan mengalami konflik kepentingan jika pada saat
yang sama ia adalah pemilik dari perusahaan pengimpor sembako. Begitu juga
jurnalis yang melakukan investigasi korupsi akan menghadapi dilema kepentingan
jika kemudian salah satu kroni atau keluarganya ternyata terlibat korupsi
tersebut.
Beberapa
organisasi profesi memang memiliki kebijakan tertentu untuk menghadapi konflik
kepentingan seperti dengan melarang penerimaan perquisites [penghasilan
tambahan] dan freebies [pemberian gratis] serta keterlibatan dalam
organisasi politik. Kode etik profesi juga mewajibkan jurnalis untuk
menghindari konflik kepentingan. Menurut Manajer Kode Etik Associated Press,
jurnalis harus menghindari praktek-praktek yang menimbulkan konflik dengan
kemampuan reporter untuk menghadirkan berita dengan fair dan tidak bias.
Jeffrey Olen dalam buku Ethics in Journalism malah mengatakan bahwa adopsi
media soal peraturan-peraturan untuk menghilangkan konflik kepentingan adalah
bukan hanya untuk memaksimalkan jangkauan audiens, tapi jurnalis memang secara
mendasar memiliki kewajiban moral untuk dapat dipercaya. Seorang kritikus musik
yang menerima undangan menonton gratis suatu pertunjukan, bisa saja ia tetap
objektif dalam menulis kritik musiknya, namun audiens yang mengetahui bahwa ia
menerima undangan menonton konser gratis tetap akan memiliki keraguan ketika
membaca kritik musik tersebut.
Salah satu
problem utama dalam menghilangkan konflik kepentingan adalah keterlibatan
struktur pada level tinggi. Ambil contoh pada media, konflik kepentingan justru
muncul dari perusahaan besar yang notabene adalah pengiklan di media yang
bersangkutan ketika perusahaan tersebut menjadi subjek media. Pada sisi lain,
beberapa organisasi media malah dimiliki oleh perusahaan besar, seperti NBC
yang dimiliki oleh General Electric. Dalam hal ini mungkinkah divisi
pemberitaan akan gencar mengungkap skandal yang melibatkan GE? Mungin saja
jawabannya iya, tapi tetap saja hal tersebut memunculkan konflik kepentingan.
3. Sumber Konflik Kepentingan
Jika kita
ingin menghindari konflik, atau paling tidak menguranginya, maka kita harus
mengetahui sumber koflik kepentingan. Banyak orang terjerat konflik loyalitas
tanpa menyadari adanya pelanggaran nilai etis didalamnya. Padahal kehidupa ini
penuh dengan jebakan dilema loyalitas, dan jikapun kita bisa mengetahui
perangkap tersebut dalam banyak kasus kita tidak berdaya untuk menghindarinya.
Diantara
sumber konflik kepentingan yang utama adalah:
a. Hubungan yang Menimbulkan Konflik [conflicting
relationships]
Tentu sulit
bagi seseorang untuk mengabdi pada dua tuan. Inilah yang terjadi bila kita
memiliki dua hubungan yang sama-sama memerlukan loyalitas serupa. Independensi
kita akan menjadi terbatas. Agen iklan atau praktisi PR misalnya, tugas
utamanya adalah terhadap klien. Namun jika terjadi konflik kepentingan maka
pelayanan kepada klien tersebut menjadi terbatas. Contohnya adalah ketika
perusahaan PR menangani klien dari perusahaan perminyakan, namun pada saat yang
sama ia juga memiliki klien dari organisasi pelestarian lingkungan. Tentu hal
ini akan menimbulkan konflik kepentingan.
b.
Pemberian dan Hadiah [gifts and perks]
Praktisi
komunikasi bertanggung jawab terhadap audiensnya, dan jika ia menerima hadiah,
cenderamata dan pemberian lain yang mengandung kepentingan tersembunyi [vested
interests] maka hal tersebut akan memunculkan keraguan terhadap obyektivitas
praktisi komunikasi tersebut. Walaupun pemberian gratis tersebut berupa hal-hal
yang ringan seperti makan siang gratis, namun jika dilakukan terus-menerus maka
hal tersebut akan mengikis independensi profesi. Di mana publik, munculnya
sumber konflik sama berbahaya dibanding konflik itu sendiri.
Wacana "pengharaman" menerima hadiah memang terjadi belakangan
ini. Sebelumnya, penerimaan hadiah bukanlah sesuatu yang diharamkan. Namun
seiring dengan perubahan zaman, hal tersebut kemudian menjadi norma etis yang
baru. Banyak organisasi profesi telah membuat kode etik yang ketat terkati
penerimaan hadiah dari pihak lain. Dalam
hal ini malah banyak organisasi wartawan yang menyamaratakan antara pemberian [gift]
dengan sogokan [bribe]. Keduanya, dengan sopan namun tegas, harus
ditolak demi independesi dan pertimbangan etis.
Seorang purist [orang yang mempertahankan kemurnian prinsip] bahkan
akan menolak pemberian secangkir kopi dari klien. Namun demikian, pemberian
yang paling sulit untuk ditolak, dan karenanya menjadi sorotan dalam kacamata
etis, adalah perjalanan gratis, seperti produser film atau musik yang melakukan
tour ke sejumlah daerah untuk promosi film atau musik mereka. Produser lalu
menyediakan perjalanan gratis bagi wartawan, kritikus film, pejabat PR, dan
praktisi komunikasi lainnya untuk mengikuti tour tersebut.
c. Checkbook Juornalism
Checkbook
juornalism terjadi ketika
media membayar narasumber, sehingga media yang bersangkutan akan memperoleh hak
eksklusif untuk menampilkan narasumber tersebut. Checkbook juornalism
menjadi sorotan etis karena terjadi pertentangan konflik, sebagai akibat adanya
kendali dari pihak tertentu [narasumber] dalam tampilan pesan. Kasus yang
menonjok dalam sejarah adalah ketika CBS membayar Haldeman, pegawai senior
mantan presiden Richard Nixon, yang pada tahun 1975 dibayar sebesar US$100.000 untuk
untuk membeberkan skandal Watergate. Sembilan tahun kemudian CBS bahkan
membayar rekaman wawancara dengan Nixon yang berdurasi 90 menit seharga
US$500.000.
Persaingan komunikasi dengan mengandalkan faktor finansial tentu bukanlah
persaingan yang sehat dan fair. Sebaliknya, persaingan yang sehat dan fair
justru menekankan pada aspek kualitas, akurasi, kecepatan dan coverage.
d. Hubungan personal
Faktor
berikutnya yang sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan namun sangat
sulit dihindari adalah hubungan personal. Bagaimanapun praktisi komunikasi
adalah juga manusia yang niscaya mengembangkan hubungan sosial, tak terkecuali
dengan klien. Maka akan sulit jika kemudian ia harus mengkomunikasikan pesan
yang bersinggungan dengan seseorang yang memiliki hubungan personal. Maka dalam
konteks ini bisa dipahami jika ada sejumlah praktisi komunikasi yang memilih
untuk menghindar dari kedekatan personal. Maka dalam konteks ini bisa dipahami,
misalnya, bahwa sejumlah organisasi/perusahaan menerapkan larangan adanya
kedekatan famili diantara karyawannya.
e. Partisipasi publik
Dilema
konflik kepentingan juga muncul dari kenyataan bahwa praktisi komunikasi juga
bagian dari publik secara umum. Dengan demikian ada interaksi antara dirinya
dengan masyarakat dimana ia berada.
4. Pendekatan terhadap Konflik Kepentingan
Sejatinya
tidak ada solusi yang tuntas bagi penyelesaian konflik kepentingan. Namun
demikian Louis Alvin Day [1996: 162] menyodorkan tiga pendekatan untuk
mengatasi konflik kepentingan, yakni:
·
Penetapan
tujuan sedemikian rupa sehingga konflik kepentingan bisa dicegah. Konflik mesti
dicegah dengan menjadikan tugas [duty based] sebagai koridor tingkah
laku praktisi komunikasi.
·
Jika
konflik tidak dapat diantisipasi, setiap upaya harus dikerahkan untuk mengatasi
konflik. Misalnya suatu koran melakukan investigasi kasus korupsi yang
melibatkan pemilik saham. Maka harus dipertimbangkan betul sejauh mana
investigasi dijalankan dan sejauh mana hasil investigasi ditulis dalam koran.
Hal ini dimaksudkan agar potensi konflik kepentingan tidak kemudian berkembang
menjadi konflik sesungguhnya.
·
Jika
konflik kepentingan tidak bisa dicegah, maka publik atau klien harus mengetahui
akan adanya konflik tersebut. Konsultan
PR yang menangani kilen dua organisasi yang berseberangan misalnya, harus memberi
tahu kepada kedua klien tersebut tentang adanya konflik kepentingan dimaksud.
Dengan demikian akan dicari langkah-langkah produksi pesan yang menguntungkan
kedua klien tersebut. Prinsip ini juga merupakan penerapan dari prinsip golden
mean yang dikemukakan oleh Aristoteles.
B. Budaya
Popular
Disebut juga
Pop culture, budaya populer adalah budaya yang berkembang mengikuti perubahan
zaman yang perkembangannya lebih banyak ditentukan industri komunikasi seperti
film, tv, media berita dan industri iklan.
Budaya popular berkembang mengikuti perubahan
zaman yang perkembangannya lebih banyak ditentukan industri komunikasi seperti
film, televisi, media berita dan industri iklan.
Isi yang biasa diproduksi dan didiseminasikan oleh
media massa adalah budaya massa. Hanya masalahnya sering makna budaya massa
dipahami sebagai suatu yang “murahan”. Meskipun sebetulnya istilah budaya massa
harus dipahami sebagai sesuatu yang baik, karena merujuk sebuah proses
pluralisme dan demokrasi yang kental. Budaya massa adalah hasil budaya yang
dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat
massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen,
lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”. Secara evaluatif
dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari
orang-orang yang tidak terdidik.
Budaya popular selalu berubah mengikuti ruang dan
waktu. Hal ini dikarenakan ideologi budaya popular memang komersialisasi dan
komodifikasi. Komersialisasi mengacu pada asumsi bahwa praktik komunikasi
ditujukan bagi akumulasi finansial. Praktik komunikasi tidak lagi berorientasi
pada tanggung jawab sosial, tapi melulu pertimbangan komersialitas. Sedangkan
komodifikasi mengacu pada pengemasan wacana, realitas maupun norma yang ada
dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga tampil lebih komersil. Kepornoan
misalnya, sebagai norma masyarakat yang ditabukan justru ditampilkan oleh
budaya popular sedemikian rupa sehingga menjadi tidak tabu lagi, malah menjadi komoditas
yang dikonsumsi secara regular.
Berbeda dengan budaya massa, budaya tinggi
mempunyai sistem nilai dan evaluasi yang berbeda. Budaya tinggi lebih dilihat
sebagai hasil produksi elite, terkontrol, secara estetis ternilai dan mempunyai
standar yang ketat - tidak tergantung pad konsumen produk mereka.
Dari perbedaan definisi budaya massa dan budaya
tinggi, kita dapat melihat bahwa secara sosial manusia membagi hasil produk
kulturnya dalam konteks kultur yang berbeda pula. Ini berarti ada hubungan tak
terelakkan bahwa kultur, konteks sosial dan media massa sebagai media
penyebaran nilai sosial serta budaya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Novel Ali [dalam harian Suara Merdeka, 7 Januari
2007] mengatakan bahwa komunikasi itu kepentingan. Tiap orang yang
berkomunikasi, punya kepentingan. Karena komunikasi identik dengan kepentingan,
atau karena setiap sistem dan proses komunikasi mengisyaratkan kepentingan,
maka (di balik) komunikasi cenderung selalu terbuka konflik kepentingan.
Tidak sedikit pakar yang berkeyakinan terdapatnya
''ideologi'' sebagai landasan komunikasi. ''Ideologi'' komunikasi punya
bermacam performance, baik kemudian yang disebut kebenaran, kejujuran,
keadilan, keaslian, obyektivitas, faktual, dan aktual, maupun yang dikenal sebagai
kebohongan, kemunafikan, ketidakadilan, kepalsuan, subyektivitas, serta fakta
semu.
Budaya
Populer disebut juga Pop culture, budaya populer adalah budaya yang berkembang
mengikuti perubahan zaman yang perkembangannya lebih banyak ditentukan industri
komunikasi seperti film, tv, media berita dan industri iklan.
Budaya popular berkembang mengikuti perubahan
zaman yang perkembangannya lebih banyak ditentukan industri komunikasi seperti
film, televisi, media berita dan industri iklan.
3.2 Saran-saran
Dalam penulisan makalah ini penulis berkeinginan
memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari
bahwa masih banyak terdapat kekurangan –
kekurangan baik dari bentuk maupun isinya
- Penulis
menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana
pembaca mempelajari tentang konflik kepentingan dan budaya popular.
-Semoga dengan
penulisan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan.